Tuesday 3 January 2012

PROSES MORFOLOGIS

3.PROSES MORFOLOGIS

3.1 Pengertian Proses Morfologis Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1985). Lebih lanjut Ramlan mengatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses morfologis, yaitu
(1) Afiksasi (proses pembubuhan afiks), (2) proses pengulangan, dan (3) proses pemajemukan.
Sedangkan Kridalaksana (1996), mengatakan bahwa proses morfologis meliputi
(1) Afiksasi, (2) reduplikasi, (3) komposisi, (4) abreviasi, (5) derivasi zero, (6) derevasi balik, dan (7) metanalisis.

3.2 Afiksasi (Proses Pembubuhan Afiks) Afiksasi adalah proses mengubah leksem mejadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori kelas kata tertentu, (3) berubah maknanya. Ramlan (1985) bahwa afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks pada suatu satuan, baik satuan berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks. Kata yang dibentuk dari satuan lain (kata lain) pada umumnya mengalami tambahan bentuk pada kata dasarnya. Kata seperti berjalan, bersepeda, bertiga, ancaman, gerigi, berdatangan terdiri atas enam bentuk dasar jalan, sepeda, tiga, ancam, gigi, dan datang, yang masing-masing dilekati bentuk yang berwujud ber-, ber-, ber-, -an, -er-, ber-an. Bentuk (morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata dinamakan afiks atau imbuhan. Atau dengan menggunakan konsep Ramlan (1985), afiks adalah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata baru. Afiks yang dilekatkan di bagian muka suatu bentuk dasar disebut prefiks, seperti ber- pada kata berjalan, bersepeda, dan bertiga. Satuan atau morfem terikat, sperti ber-, meng,-, peng-, per- adalah prefiks atau awalan. Apabila satuan gramatik (morfem terikat), dilekatkan dibagian belakang kata, maka namanya sufiks atau akhiran, seperti –an pada kata ancaman, -kan pada kata dapatkan, -i pada kata dinamai. Infiks atau sisipan adalah afiks yang diselipkan di tengah bentuk dasar. Satuan seperti -er- dan -el- pada kata gerigi dan geletar adalah infiks atau sisipan. Gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu satuan disebut konfiks. Satuan berdatangan, misalnya, dibentuk dari bentuk dasar datang dan konfiks ber-an yang secara serentak diimbuhkan. Sementara itu, Kridalaksana (1989) mengklasifikasikan dan menganalisis atas: (1) prefiks, (2) sufiks, (3) infiks, (4) konfiks, (5) simulfiks, (6) superfiks, (7) interfiks, (8) transfiks, dan (9) kombinasi afiks.

3.3 Proses Pengulangan (Reduplikasi) Pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, disebut proses pengulangan (reduplikasi). Hasil pengulangan itu disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang disebut bentuk dasar. Ramlan (1985) mengemukakan beberapa ciri proses pengulangan, yaitu (1) pengulangan pada umumnya tidak mengubah kategori kelas kata (golongan kata), (2) proses pengulangan dapat dikembalikan pada bentuk dasarnya, (3) bentuk dasar dalam proses pengulangan selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa. Bentuk pengulangan berjalan-jalan, bentuk dasarnya adalah berjalan, berpacar-pacaran bentuk dasarnya adalah berpacaran, rumah-rumah bentuk dasarnya adalah rumah. Satuan-satuan kemerah-merahan (adjektiva) bentuk dasarnya merah (adjektiva); rumah-rumah (nomina) bentuk dasarnya adalah rumah (nomina); kereta-keretaan (nominal) bentuk dasarnya adalah kereta (nomina); berlari-lari (verba) bentuk dasarnya adalah berlari (nomina). Berdarkan contoh-contoh tersebut dapat dikatakan bahwa bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk kelas kata nomina, berupa kata nomina; bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk kelas kata verba, berupa kata verba; bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk kelas kata adjektiva, berupa kata adjektiva. Proses pengulangan dalam bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut. (1) Pengulangan seluruhnya (penuh), yaitu pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan pembubuhan afiks, seperti sepeda-sepeda, buku-buku, kebaikan-kebaikan, rumah-rumah, dan sebagainya; (2) Pengulangan sebagian, yaitu pengulangan sebagian dari bnetuk dasarnya. Di sini bentuk dasar dari kata ulang itu tidak diulang seluruhnya. Hampir semua bentuk dasar yang termasuk pengulangan ini berupa bentuk kompleks, misalnya kata mengambil menjadi mengambil-ambil, melambaikan menjadi melambai-lambaikan, membaca menjadi membaca-baca; (3) Pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, yaitu pengulangan yang mengulang seluruh bentuk dasar dan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Artinya, pengulangan terjadi bersama-sama dengan proses pembubuhan afiks, misalnya kereta-keretaan, mobil-mobilan, kuda-kudaan, dan sebagainya; (4) Penguangan dengan perubahan fonem, misalnya bolak-balik, gerak-gerik, serba serbi, lauk-pauk, sayur mayur, dan sebagainya. Kridalaksana (1996) mengklasifikasi proses pengulangan atas tiga bentuk. Ketiga bentuk pengulangan tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini. (1) Proses pengulangan fonologis, yaitu pengulangan yang bersifat fonologis, tidak ada penglangan leksem, seperti dada, pipi, paru-paru, kuku, dan sebagainya; (2) Proses pengulangan morfemis, yaitu pengulangan yang mengalami perubahan makna gramatikal atas leksem yang diulang. Pengulangan morfemis inilah yang menjadi pembicaraan dalam kajian morfologi; dan (3) Proses pengulangan sintaksis, yaitu proses pengulangan yang terjadi atas leksem yang menghasilkan satuan yang berstatus klausa. Jadi, berada di luar cakupan kajian morfologi, seperti satuan jauh-jauh datang juga orang itu, Asam-asam dimakan juga. Di sisi lain Kridalaksana juga membagi proses pengulangan atas: (1) Pengulangan dwipurwa, yaitu pengulangan suku pertama pada leksem pelemahan vokal, seperti tetangga, lelaki, tetamu, sesama, dan sebagainya; (2) Pengulangan dwilingga, yaitu pengulangan leksem, seperti rumah-rumah, makan-makan, pagi-pagi, kuda-kuda, dan sebagainya; (3) Pengulangan dwilingga salin swara, yaitu pengulangan leksem dengan variasi fonem, seperti modar-mandir, pontang-panting, bolak-balik, corat-coret, dan sebagainya; (4) Pengulangan dwiwasana, yaitu pengulangan bagian belakang dari leksem, seperti pertama-tama, perlahan-lahan, sekali-kali, dan sebagainya; dan (5) Pengulangan trilingga, yaitu pengulangan dengan anamatope tiga kali dengan variasi fonem, seperti dag-dig-dug, cas-cis-cus, dar-dir-dor, ngak-ngek-ngok, dan sebagainya.

3.4Pemajemukan (Kompositum) Pemajemukan merupakan pemaduan dua kata atau lebih yang membentuk satu kata. Karena membentuk satu kata, maka maknanya pun satu. Dalam istilah tatabahasa tradisional istilah pemadun lebih dikenal dengan nama pemajemukan. Dalam bahasa Indonesia pemaduan satuan-satuan kata untuk membentuk satu kata sangat produkatif, khusussnya dalam pembentukan istilah-istilah baru. Ramlan (1985) menyatakan bahwa kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata atau lebih sebagai unsurnya. Di samping itu, ada juga kata majemuk yang terdiri dari satu kata dan satu pokok kata, sebagai unsurnya, misalnya daya tahan, daya juang, kamar tunggu, kamar kerja, ruang baca, tenaga kerja, kolam renang, jarak tembak, ikat pinggang, dan ada pula yang terdiri dari pokok kata semuanya, seperti lomba lari, jual beli, simpan pinjam, dan masih banyak lagi. Kridalaksana (1996) mengatakan bahwa pemajemukan (komposisi) adalah proses penggabungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata. ”Output” proses itu disebut paduan leksem atau kompositum yang menjadi calon kata majemuk. Deskripsi Kridalaksana ini menempatkan kata majemuk sebagai satuan yang berbeda dari frasa. Frasa adalah gabungan kata bukan gabungan leksem. Yang mengolah kata-kata hingga menjadi frasa adalah proses sintaktis, sedangkan kata majemuk merupaka proses morfologis. Lebih lanjut Kridalaksana mendeskripsi perbedaan kata majemuk dan frasa sebagai berikut. (1)Ketaktersisipan; artinya di atara unsur-unsur kata majemuk (kompositum) tidak dapat disisipi apa pun. Sapu tangan, rumah sakit, kursi malas adalah kata majemuk, karena tidak dapat disipi apa pun. Sedangkan anak malas, alat negara, sapu lidi merupakan frasa, karena dapat disisipi partikel dari atau yang atau untuk, menjadi anak yang malas, alat dari negara, dan sapu dari lidi. Satuan kamar mandi kelihatannya sama dengan orang mandi. Keduanya terdiri dari nomina dan verba, tetapi jika kita teliti dengan benar, ternyata kedua satuan itu berbeda. Pada orang mandi kata orang dapat diikuti kata itu, misalnya orang itu mandi, dan kata mandi dapat didahului kata sedang, akan, sudah menjadi orang itu sedang mandi, orang itu akan mandi, orang itu sudah mandi. Dengan kata lain, unsur-unsur dalam orang mandi dapat disisipi atau dipisahkan. Berbeda dengan unsur-unsur dalam kamar mandi yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian satuan kamar mandi merupakan kata majemuk. (2)Ketakterluasan; artinya unsur-unsur kata majemuk (komsitum), masing-masing tidak dapat diafiksasikan atau dimodifikasikan. Perluasan untuk kata majemuk hanya mungkin untuk semua kompnennya sekaligus. Misalnya, kereta api dapat dimodifikasi menjadi perkeretaapian. (3)Ketidakterbalikan; artinya unsur-unsur kata majemuk (kompositum) tidak dapat dipertukarkan. Gabungan seperti bapak ibu, pulang pergi, dan lebih kurang, tidak digolongan kata majemuk, melainkan frasa koordinatif karena dapat dibalikkan (gabungan kata semacam ini memberi kesempatan kepada penutur untuk memilih mana yang akan didahulukan). Konstruksi seperti hutan belantara, bujuk rayu bukanlah frasa, melainkan kata majemuk.

3.5 Derivasi Zero Derivasi Zero merupakan proses morfologis yang tidak terjadi perubahan bentuk. Jadi dalam derivasi zero ini leksem menjadi kata tunggal, misalnya kata makan, minum, mohon, dan lain-lain.

3.6 Derivasi Balik Derivasi balik merupakan proses morfologis yang inputnya satuan tunggal dan outputnya adalah kata kompleks. Proses pembentukan ini karena bahasawan yang dengan sengaja membentuknya berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya. Akibatnya terjadi bentuk yang secara historis tidak diramalkan, misalnya, kata pungkir dalam dipungkiri yang dipakai orang karena mengira bentuk itu merupakan padanan pasif dari kata memungkiri (padahal kata pungkir tidak ada dalam bahasa Indonesia, yang ada adalah mungkir yang berasal dari bahasa Arab). Demikian juga kata ketik dan pengapakan.

3.7 Abreviasi (Pemendekan) Abreviasi (pemendekan) merupakan proses morfologis yang berupa penanggalan satu atau beberapa satuan kata atau kombinasi kata, sehingga membentuk kata baru. Istilah lain untuk abreviasi adalah pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kependekan. Ada beberapa jenis abreviasi, sebagaimana diuraikan berikut ini. (1) Pemenggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian kata atau leksem, seperti Prof. (profesor), Bu (Ibu), Pak (Bapak), dan sebagainya. (2) Kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkaskan kata atau leksem dasar atau gabungan kata atau leksem dasar, seperti tak (dari tidak), takkan (dari tidak akan), berdikari (dari berdiri di atas kaki sendiri), rudal (dari peluru kendali), dan sebagainya; (3) Akronim, yaitu pembentukan kata melalui penggabungan huruf-huruf awal urutan kata atau bagian tertentu dari kata-kata yang berurutan, misalnya kata raker (rapat kerja), rapim (rapat pimpinan), Polwan (Polisi Wanita), dan sebagainya dan (4) Penyingkatan, yaitu salah satu proses pemendekan berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf, seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata), DKI (daerah Khusus Ibukota), DPR (dewan Perwakilan Rakyat, dsb (dan sebagainya), dll (dan lain-lain). (5) Lambang Huruf, yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih yang menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan, atau unsur, seperti Kg. (Kilogram), g (gram), cm (Sentemeter), dan sebagainya. sumber:


http://morfologibahasaindonesia.blogspot.com/