Desya Tri Marhaenda
13010110130054
Sastra Indonesia
KRITIK SASTRA
Kritik Terhadap Cerpen “Pencabut Uban”
Karya Aris Kurniawan (Suara Merdeka, 16
September 2012)
Sinopsis cerpen
Di desa kami tinggallah
seorang wanita si pencabut uban, Inay namanya. Hampir seluruh warga desa kami
pernah menikmati ketangkasan jari-jari tangan Inay mencabuti uban warga desa
kami. Terlebih lagi sifatnya yang periang menjadi hiburan tersendiri bagi kami.
Kemana-mana dia selalu membawa gosip yang tak pernah habis diceritakannya. Ada
satu rumah yang hampir tak pernah absen didatanginya adalah rumah Lurah Kurdi.
Beliau seakan sudah menjadi pelanggan tetap si Inay. Anak-anak dan istri pak
Lurah kurdi pun sangat menyukai Inay. Di rumah pelanggan satu ini, selain
menerima upah lebih besar, Inay kerap dihidangi makanan dengan lauk yang
lezat-lezat usai menyelesaikan pekerjaannya. Bagi Lurah Kurdi dan keluarganya
upah yang mereka berikan cukup setimpal dengan pekerjaan Inay.
Konon, menjadi
pencabut uban bermula sejak Inay sembuh dari sakit yang hampir merenggut
nyawanya saat ia masih duduk di kelas V SD. Seorang yang masih kerabat dengan
Emak yang dikabarkan punya pesugihan hendak menjadikan Inay tumbal. Namun,
setelah sembuh dari sakitnya ingatan Inay tak lagi utuh. Ia kerap melamun dan cengengesan
sendiri. Tak jarang ia mengamuk tanpa sebab. Lalu jatuh kejang-kejang dengan
mulut meneteskan liur yang menjijikkan. Kemampuannya membaca huruf dan
menghitung angka-angka lenyap dari tempurung kepalanya. Perkembangan otak dan
emosinya mundur 10 tahun ke belakang dan berhenti di sana tanpa bisa ditarik
lagi ke depan. Emak sudah habis-habisan membawanya berobat ke orang pintar.
Hasilnya tak ada. Orang bilang sebagian rohnya sudah jadi tumbal.
Kebiasaan ngamuk tanpa sebabnya
lama-lama memang berkurang, tapi berganti jadi gemar keluyuran ke rumah-rumah
tetangga. Meminta uang kepada mereka. Sekali waktu entah siapa mau memberinya
uang tapi dengan syarat harus mencabuti uban di kepala orang tersebut.
Tiga hari ini
Inay tidak berkeliling ke rumah kami. Kami pun mulai bertanyatanya cemas. Uban
di kepala kami seakan tumbuh makin cepat dan gatalnya bukan kepalang. Tak ada
lagi gosip-gosip menggelitik yang menghibur kami. Hidup jadi terasa makin
berat. Ketika pada hari kelima Inay tak kunjung muncul, beberapa orang di
antara kami mulai bergerak mendatangi rumahnya. Tapi kami tak mendapati Inay di
rumahnya. Emaknya yang makin terlihat renta bilang, Inay pergi ke kota mencari
kerja. Tentu saja kabar ini membuat kami merasa sangat sedih dan terpukul.
Seakan harapan satu-satunya kini hilang pula.Kami menyesalkan kepergian Inay
sambil membayangkan kerja apa Inay di kota. Kami pun pulang membawa perasaan
hampa, sehampa hasil panen lantaran pertanian kami diserang hama dan kekeringan
yang melengkapi kesedihan kami.
Kepergian Inay dari desa kami
diikuti peristiwa yang baru kali itu terjadi di desa kami. Warga desa berunjuk
rasa di depan balai desa lantas berarak ke rumah Lurah Kurdi lantaran lurah
kami itu mengorupsi dana bantuan dari pusat. Kami menuntut Lurah Kurdi dipecat
dan dipenjarakan. Sejumlah polisi dan pejabat kabupaten turun ke desa kami dan
mengamankan Lurah Kurdi dan keluarganya. Lurah Kurdi akhirnya dibawa dan
ditahan di kantor polisi.Namun, beberapa bulan kemudian, orang-orang desa kami
yang pulang dari kota bercerita, Lurah Kurdi membuka salon khusus mencabut uban
dengan Inay sebagai pegawainya. “Pelanggannya orang-orang bermobil bagus,”
demikian kabar yang dibawa orang-orang desa kami yang pulang dari kota.
Berikut
penilaian baik atau buruk berdasarkan pertimbangan teori cerkan:
Cerpen Pencabut Uban ini memiliki tokoh dan penokohan yang unik. Tokoh
Inay merupakan tokoh bulat, memiliki karakter yang tidak disangka-sangka. Inay
yang saat ini memiliki kepribadian yang ceria dan periang, ternyata memiliki masa
lalunya yang sama sekali terbalik dari kehidupannya. Disinilah penulis berhasil
mengecoh pembaca.
Secara kuantitatif kisah ini memiliki alur ganda, dengan pengaluran
flashback. Sedangkan secara kualitatif alur pada kisah ini merupakan alur
longgar yang memungkinkan percabangan pada peristiwa-peristiwa yang ada pada
cerpen ini. Selain itu kisah ini memiliki alur yang sedikit rumit.
Dari segi latar dan pelataran, dalam cerpen ini cukup jelas. Menceritakan
kejadian yang bertempat di suatu desa. Namun juga tidak meninggalkan budaya,
tradisi dan pola pikir masyarakat setempat. Dari kebiasaan mereka mencabut
uban, hingga kepercayaan akan hal-hal mistis.
Pusat pengisahan cerpen ini adalah orang pertama sebagai pengamat.
Diceritakan si “Aku” memaparkan kisah seorang tetangganya yang bernama Inay,
seorang pencabut uban di desa tempat tinggalnya.
Yang menarik bagi saya, cerpen ini berkisah tentang hal gaib, tumbal pada
masa lampau. Tentang kepercayaan masyarakat setempat pada mitos yang beredar.
Hal ini memilikidaya tarik tersendiri bagi pembaca.
Amanat
yang dapat saya tangkap dari cerpen Pencabut Uban ini adalah hidup itu penuh
liku-liku dan tidak selalu berjalan mulus. Maka dari itu kita harus membekali
diri dengan iman yang kuat agar kelak tidak tersesat.
Adapun
teori sosial cerkan yang menyangkut nilai-nilai kehidupan dalam cerpen ini Cerpen
ini memiliki nilai keagamaan yang lemah, karena menceritakan tentang bagaimana
masyarakat setempat mempercayai hal-hal gaib yang bersifat mitos.
Disamping itu cerita pada cerpen ini mempunyai kaitan
yang sangat erat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahwa
kebanyakan orang jawa mempunyai tradisi mencabut uban antar sesama masyarakat
dan ini sudah menjadi tradisi pada masyarakat jawa dalam berbagai aspek sosial.
Kritik
Terhadap Puisi “Pukat”
Karya Risma Widianti (Suara Merdeka, Minggu 4 September 2011)
Pukat
:
risma widianti
dalam
temaram kamar tidurmu, aku jelas melihat ikan-ikan yang
lepas
senja tadi
sama-sama
kita santap, tulang-tulangnya menari-nari di nakal
kolam
matamu
malam
ini akulah kucing hitam yang laparnya hendak mengunyah-
ngunyah
lunak
tulang-tulang
itu setelah lebih dulu memangsanya dengan pukat
laut
darahku
Berikut
penilaian baik atau buruknya puisi berdasarkan teori puisi:
1. Bentuk
Visual
Berdasarkan
bentuk visualnya, puisi ini kurang baik. Tidak ada tipografi dan hanya terdiri
dari satu bait. Komposisi baitnya berlebihan dan terlalu panjang.
2. Bunyi
Berdasarkan
bunyi dan persajakan, komposisinya
kurang harmonis. Namun dalam puisi ini
terdapat aliterasi dan asonansi yang cukup baik. Misalnya pada kutipan bait ini
“aku jelas melihat
ikan-ikan yang lepas senja tadi“
. Aliterasi pada kutipan bait puisi di atas adalah terdapat pengulangan bunyi
konsonan “s” yang lebih dominan.
Pada kutipan bait “dalam temaram
kamar tidurmu,…” terdapat asonasi/ pengulangan
bunyi vokal “a” yang diulang-ulang pada bait tersebut.
3. Diksi
Diksi dalam puisi ini cukup bagus.
Misalnya pada “tulang-tulangnya
menari-nari di nakal kolam matamu” pembaca dibuat berimajinasi oleh
syairnya.
4. Efek estetik
Terdapat kata-kata yang bersifat
konotatif, misalnya pada “malam ini
akulah kucing hitam yang laparnya hendak mengunyah-ngunyah lunak “. Kucing
hitam tidak berarti makna sebenarnya, melainkan hanya sebuah ungkapan.
Penilaian
berdasarkan citraan:
§ Dari segi citra pengucapan kurang
bagus, karena penyair tidak banyak menggunakan gaya bahasa. Dari segi
pengelihatan, puisi ini terdapat pada bait “dalam temaram kamar tidurmu, aku
jelas melihat ikan-ikan yang lepas senja tadi”. Pembaca seolah-olah melihat
sendiri apa yang di tulis oleh penyair. Sedangkan pada puisi ini tidak terdapat
citra perabaan, penciuman, pengecapan dan pendengaran.
Penilaian
berdasarkan segi social puisi:
§ Puisi ini mengandung nilai moral
yang mengisahkan tentang keserakahan manusia.