Monday 4 November 2013

KESENIAN SINTREN BERBAU MISTIS




Desya Tri Marhaenda
13010110130054

Kebudayaan pesisir merupakan keseluruhan pengetahuan yang dipunyai dan terjiwai oleh masyarakat pesisir, yang isinya adalah perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, untuk mendorong, dan untuk menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan untuk menghadapi lingkungan-lingkungan sekitarnya (fisik, alam, dan sosial) agar masyarakat pesisir itu dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan untuk dapat hidup secara lebih baik (Mudjahirin, 2009).
Kebudayaan pesisir ini meliputi adat-istiadat, tradisi, kepercayaan, dan lain-lain yang dianut oleh masyarakat setempat. Di pesisir pantai utara Pulau Jawa, khususnya dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Banyumas, hingga Pekalongan, terdapat tradisi kesenian yang unik. Sintren, suatu tarian yang disebut-sebut mistis inilah yang akan penulis bahas dalam makalah ini.

RUMUSAN MASALAH
1.     Apa kesenian Sintren itu?
2.     Bagimana asal mula tradisi kesenian Sintren?
3.     Bagaimaa prosesi kesenian Sintren?

TUJUAN MAKALAH
1.     Pembaca dapat mengetahui tentang kesenian Sintren yang berada di daerah Pesisir Pantai Untara Pulau Jawa.
2.     Pembaca dapat mengetahui tentang sejarah Sintren.
3.     Pembaca dapat mengetahui seperti apa prosesi jalannya kesenian Sintren.

PEMBAHASAN
Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Pada zaman dahulu, Kalisabak dipimpin oleh seorang penguasa wilayah yang bernama Raden Bahureksa. Ia tinggal bersama istrinya yang bernama Roro Rantamsari dan putra semata wayangnya, Raden Sulandono. Raden Sulandono tumbuh menjadi seorang pangeran yang tampan dan baik budi pekertinya. Perilakunya yang sopan dan tidak membeda-bedakan teman pergaulan, menjadikannya memiliki banyak teman. Ia suka bergaul dengan rakyat biasa, dan berkunjung sampai ke desa-desa.
Sementara itu, di sebuah dusun yang menjadi wilayah Kalisabak, tersebutlah gadis bernama Sulasih. Sulasih, gadis cantik berbudi itu menjadi kembang desa kebanggan para pemuda.
Suatu hari saat berkunjung ke desa itu, bertemulah Raden Sulandono dengan Sulasih. Raden Sulandono langsung jatuh cinta pada Sulasih. Cinta mereka pun bertaut, tanpa mempermasalahkan status mereka yang berbeda. Namun rupaya Raden Bahureksa menghalangi cinta putranya. Ia beranggapan Sulasih tidak cocok untuk putranya. Walaupun terus dihalang-halangi ayahnya, hubungan cinta Raden Sulandono dan Sulasih terus berlanjut. Tak lama berselang, Raden Bahureksa meninggal dunia, disusul Rara Rantamsari.
Sebenarnya, banyak pemuda yang terpikat pada kecantikan Sulasih. Suatu waktu, Sulasih disembunyikan oleh para pemuda itu agar tidak dapat bertemu lagi dengan Raden Sulandono. Mengetahui kekasihnya disembunyikan, maka terjadi pertarungan antara Raden Sulandono dengan para pemuda desa tersebut. Dan karena dikeroyok, Raden Sulandono kalah. Namun sebelum celaka, Raden Sulandono diselamatkan oleh roh Roro Rantamsari yang kemudian memerintahkan Raden Sulandono untuk bertapa dan memberinya sehelai saputangan. Dia disarankan untuk menjadi penari pada upacara bersih desa yang akan datang.
Pada malan bulan purnama pada saat upacara bersih desa dimulai, melalui perantara Roro Rantamsari, roh bidadari didatangkan agar menyatu ke dalam tubuh Sulasih sehingga ia mampu menari di acara bersih desa. Roh Rantamsari kemudian mendatangi Raden Sulandono yang sedang bertapa agar segera bangun dan cepat-cepat mendatangi upacara bersih desa tersebut. Dalam kesempatan itu Raden Sulandono melemparkan saputangan pemberian ibundanya, maka pingsanlah Sulasih yang sedang menari. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Raden Sulandono yang segera membawa lari Sulasih.
Sejak saat itu, bila suatu desa menyelenggarakan upacara bersih desa, maka akan disajikan tarian yang pernah ditarikan Sulasih, yaitu tarian para bidadari. Saat menari, seringkali penari seperti tak sadarkan diri karena dimasuki roh.
Tari ini untuk selanjutnya disebut Sintren, yang berasal dari kata si-putri-an atau si-putren, kemudian menjadi sintren, yaitu putri yang menari menirukan tarian para bidadari.
Sekarang ini, umumnya Sintren tidak lagi sebagai tari yang disajikan dalam upacara bersih desa, tetapi telah menjadi tontonan yang bersifat hiburan.

Sintren sebagai seni tari tradisional Jawa, khususnya Cirebon, sering dipertunjukkan pada saat acara kebudayaan. Pemeran sintren adalah gadis yang masih suci (perawan), dan dibantu oleh seorang pawang serta 3-6 orang penjaga.
Prosesi Sintren dimulai dengan, sang gadis dililit tali dari ujung kepala sampai ujung kaki, dibaringkan di atas tikar dan dibungkus, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan ayam seukuran manusia yang sudah disiapkan dengan dibungkus kain batik hitam. Dua sinden mendendangkan lagu dalam bahasa Cirebon. 

Kemenyan dibakar, penari menabur bunga. dan saat kurungan ayam diangkat, gadis yang dililit itu sudah berubah penampilan, si gadis memakai baju penari berwarna merah, kain batik hitam, dengan mahkota dan kacamata hitam. Si gadis lantas menari dalam kondisi trance. Dan salah satu bagian yang menarik dalam prosesi ini adalah sang penari akan jatuh saat dilempar uang. Setiap penonton melempar uang ke tubuhnya, sang penari pun ambruk. Sang penjaga sigap menangkap, lantas pria berbaju hitam meniup wajah penari Sintren. Dia pun menari lagi, bak wayang di tangan dalang. 


PENUTUP
SIMPULAN
Kesenian Sintren adalah kesenian tari tradisonal Nusantara, khususnya pesisir pantai utara Pulau Jawa, yang saat ini hampir sedikit peminatnya. Bayangkan saja, sekarang ini di daerah setempat hanya ada grup sinten yang tidah lebih dari dua. Maka dari itu, kita sebagai masyarakat Indonesia hendaknya ikut melestarikan Sintren, dan kesenian-kesenian daerah lainnya.

No comments:

Post a Comment