Monday 4 November 2013

KRITIK SASTRA CERPEN "PENCABUT UBAN"



Desya Tri Marhaenda
13010110130054
Sastra Indonesia
KRITIK SASTRA
Kritik Terhadap Cerpen  Pencabut Uban”
Karya Aris Kurniawan (Suara Merdeka, 16 September 2012)
Sinopsis cerpen
Di desa kami tinggallah seorang wanita si pencabut uban, Inay namanya. Hampir seluruh warga desa kami pernah menikmati ketangkasan jari-jari tangan Inay mencabuti uban warga desa kami. Terlebih lagi sifatnya yang periang menjadi hiburan tersendiri bagi kami. Kemana-mana dia selalu membawa gosip yang tak pernah habis diceritakannya. Ada satu rumah yang hampir tak pernah absen didatanginya adalah rumah Lurah Kurdi. Beliau seakan sudah menjadi pelanggan tetap si Inay. Anak-anak dan istri pak Lurah kurdi pun sangat menyukai Inay. Di rumah pelanggan satu ini, selain menerima upah lebih besar, Inay kerap dihidangi makanan dengan lauk yang lezat-lezat usai menyelesaikan pekerjaannya. Bagi Lurah Kurdi dan keluarganya upah yang mereka berikan cukup setimpal dengan pekerjaan Inay.
Konon, menjadi pencabut uban bermula sejak Inay sembuh dari sakit yang hampir merenggut nyawanya saat ia masih duduk di kelas V SD. Seorang yang masih kerabat dengan Emak yang dikabarkan punya pesugihan hendak menjadikan Inay tumbal. Namun, setelah sembuh dari sakitnya ingatan Inay tak lagi utuh. Ia kerap melamun dan cengengesan sendiri. Tak jarang ia mengamuk tanpa sebab. Lalu jatuh kejang-kejang dengan mulut meneteskan liur yang menjijikkan. Kemampuannya membaca huruf dan menghitung angka-angka lenyap dari tempurung kepalanya. Perkembangan otak dan emosinya mundur 10 tahun ke belakang dan berhenti di sana tanpa bisa ditarik lagi ke depan. Emak sudah habis-habisan membawanya berobat ke orang pintar. Hasilnya tak ada. Orang bilang sebagian rohnya sudah jadi tumbal.
Kebiasaan ngamuk tanpa sebabnya lama-lama memang berkurang, tapi berganti jadi gemar keluyuran ke rumah-rumah tetangga. Meminta uang kepada mereka. Sekali waktu entah siapa mau memberinya uang tapi dengan syarat harus mencabuti uban di kepala orang tersebut.
Tiga hari ini Inay tidak berkeliling ke rumah kami. Kami pun mulai bertanyatanya cemas. Uban di kepala kami seakan tumbuh makin cepat dan gatalnya bukan kepalang. Tak ada lagi gosip-gosip menggelitik yang menghibur kami. Hidup jadi terasa makin berat. Ketika pada hari kelima Inay tak kunjung muncul, beberapa orang di antara kami mulai bergerak mendatangi rumahnya. Tapi kami tak mendapati Inay di rumahnya. Emaknya yang makin terlihat renta bilang, Inay pergi ke kota mencari kerja. Tentu saja kabar ini membuat kami merasa sangat sedih dan terpukul. Seakan harapan satu-satunya kini hilang pula.Kami menyesalkan kepergian Inay sambil membayangkan kerja apa Inay di kota. Kami pun pulang membawa perasaan hampa, sehampa hasil panen lantaran pertanian kami diserang hama dan kekeringan yang melengkapi kesedihan kami.
Kepergian Inay dari desa kami diikuti peristiwa yang baru kali itu terjadi di desa kami. Warga desa berunjuk rasa di depan balai desa lantas berarak ke rumah Lurah Kurdi lantaran lurah kami itu mengorupsi dana bantuan dari pusat. Kami menuntut Lurah Kurdi dipecat dan dipenjarakan. Sejumlah polisi dan pejabat kabupaten turun ke desa kami dan mengamankan Lurah Kurdi dan keluarganya. Lurah Kurdi akhirnya dibawa dan ditahan di kantor polisi.Namun, beberapa bulan kemudian, orang-orang desa kami yang pulang dari kota bercerita, Lurah Kurdi membuka salon khusus mencabut uban dengan Inay sebagai pegawainya. “Pelanggannya orang-orang bermobil bagus,” demikian kabar yang dibawa orang-orang desa kami yang pulang dari kota.

Berikut penilaian baik atau buruk berdasarkan pertimbangan teori cerkan:
Cerpen Pencabut Uban ini memiliki tokoh dan penokohan yang unik. Tokoh Inay merupakan tokoh bulat, memiliki karakter yang tidak disangka-sangka. Inay yang saat ini memiliki kepribadian yang ceria dan periang, ternyata memiliki masa lalunya yang sama sekali terbalik dari kehidupannya. Disinilah penulis berhasil mengecoh pembaca.
Secara kuantitatif kisah ini memiliki alur ganda, dengan pengaluran flashback. Sedangkan secara kualitatif alur pada kisah ini merupakan alur longgar yang memungkinkan percabangan pada peristiwa-peristiwa yang ada pada cerpen ini. Selain itu kisah ini memiliki alur yang sedikit rumit.
Dari segi latar dan pelataran, dalam cerpen ini cukup jelas. Menceritakan kejadian yang bertempat di suatu desa. Namun juga tidak meninggalkan budaya, tradisi dan pola pikir masyarakat setempat. Dari kebiasaan mereka mencabut uban, hingga kepercayaan akan hal-hal mistis.
Pusat pengisahan cerpen ini adalah orang pertama sebagai pengamat. Diceritakan si “Aku” memaparkan kisah seorang tetangganya yang bernama Inay, seorang pencabut uban di desa tempat tinggalnya.
Yang menarik bagi saya, cerpen ini berkisah tentang hal gaib, tumbal pada masa lampau. Tentang kepercayaan masyarakat setempat pada mitos yang beredar. Hal ini memilikidaya tarik tersendiri bagi pembaca.
Amanat yang dapat saya tangkap dari cerpen Pencabut Uban ini adalah hidup itu penuh liku-liku dan tidak selalu berjalan mulus. Maka dari itu kita harus membekali diri dengan iman yang kuat agar kelak tidak tersesat.
Adapun teori sosial cerkan yang menyangkut nilai-nilai kehidupan dalam cerpen ini Cerpen ini memiliki nilai keagamaan yang lemah, karena menceritakan tentang bagaimana masyarakat setempat mempercayai hal-hal gaib yang bersifat mitos.
Disamping itu cerita pada cerpen ini mempunyai kaitan yang  sangat erat  dengan kehidupan kita sehari-hari.  Bahwa kebanyakan orang jawa mempunyai tradisi mencabut uban antar sesama masyarakat dan ini sudah menjadi tradisi pada masyarakat jawa dalam berbagai aspek sosial.



Kritik Terhadap Puisi “Pukat”
Karya Risma Widianti (Suara Merdeka, Minggu 4 September 2011)

Pukat
: risma widianti

dalam temaram kamar tidurmu, aku jelas melihat ikan-ikan yang
lepas senja tadi
sama-sama kita santap, tulang-tulangnya menari-nari di nakal
kolam matamu
malam ini akulah kucing hitam yang laparnya hendak mengunyah-
ngunyah lunak
tulang-tulang itu setelah lebih dulu memangsanya dengan pukat
laut darahku

Berikut penilaian baik atau buruknya puisi berdasarkan teori puisi:
1.      Bentuk Visual
Berdasarkan bentuk visualnya, puisi ini kurang baik. Tidak ada tipografi dan hanya terdiri dari satu bait. Komposisi baitnya berlebihan dan terlalu panjang.
2.      Bunyi
Berdasarkan bunyi  dan persajakan, komposisinya kurang harmonis.  Namun dalam puisi ini terdapat aliterasi dan asonansi yang cukup baik. Misalnya pada kutipan bait ini “aku jelas melihat ikan-ikan yang lepas senja tadi“ . Aliterasi pada kutipan bait puisi di atas adalah terdapat pengulangan bunyi konsonan “s” yang lebih dominan.
Pada kutipan bait dalam temaram kamar tidurmu,…” terdapat asonasi/ pengulangan bunyi vokal “a” yang diulang-ulang pada bait tersebut.
3.      Diksi
Diksi dalam puisi ini cukup bagus. Misalnya pada “tulang-tulangnya menari-nari di nakal kolam matamu” pembaca dibuat berimajinasi oleh syairnya.
4.      Efek estetik
Terdapat kata-kata yang bersifat konotatif, misalnya pada “malam ini akulah kucing hitam yang laparnya hendak mengunyah-ngunyah lunak “. Kucing hitam tidak berarti makna sebenarnya, melainkan hanya sebuah ungkapan.
Penilaian berdasarkan citraan:
§  Dari segi citra pengucapan kurang bagus, karena penyair tidak banyak menggunakan gaya bahasa. Dari segi pengelihatan, puisi ini terdapat pada bait “dalam temaram kamar tidurmu, aku jelas melihat ikan-ikan yang lepas senja tadi”. Pembaca seolah-olah melihat sendiri apa yang di tulis oleh penyair. Sedangkan pada puisi ini tidak terdapat citra perabaan, penciuman, pengecapan dan pendengaran.
Penilaian berdasarkan segi social puisi:
§  Puisi ini mengandung nilai moral yang mengisahkan tentang keserakahan manusia.


No comments:

Post a Comment